7.4.08

Kontroversi Tentang Pornografi

Berawal dari ekspose goyang Inul oleh berbagai media cetak elektronik, visual, dan audivisual beberapa waktu lalu dan terus berlangsung hingga sekarang, sekalipun dipenuhi kontroversi di tengah-tengah publik, tokoh masyarakat, praktisi hukum, pemerintah, dan ulama. Ada pendapat yang setuju dan menghargai goyang Inul sebagai seni dan kemajuan ''goyang dangdut''. Ada yang menganggap sebagai bentuk penghinaan, pelecehan, perendahan posisi perempuan, perusakan akhlak, dan pendidikan seks yang buruk.

Ibarat gunung es, goyang Inul adalah puncak yang terlihat. Artinya ada banyak fenomena serupa bahkan lebih heboh yang tidak disorot. Misalnya, penari latar video klip dan film-film Bolliwood dan penari perut klab malam.Kenyataan yang terjadi selama ini, kasus-kasus serupa sering berlalu begitu saja. Standar norma sosial yang relatif dan sistem hukum yang lemah menjadi penyebabnya, sehingga reaksi yang ada sebatas pro dan kontra.

Lebih parah lagi, keduanya didukung oleh bisnis media dan kebebasan pers. Sejak era kepemimpinan Habibie, pemerintah Indonesia menjamin kebebasan pers. Sejak itu pula masyarakat berbagai usia dengan mudah mendapatkan informasi kelas stensilan yang dulunya sukar diperoleh. Penggemar dan konsumen informasi kelas stensilan ini dimudahkan oleh keadaan ini sekaligus mendatangkan peluang bisnis bagi media massa. Namun, bukan berarti tidak ada penyelesaian keadaan ini terutama bagi kalangan yang ingin akhlak masyarakat menjadi baik.Akhlak, norma sosial, dan sistem hukumIndividu-individu suatu kelompok manusia yang terikat dengan satu warna pemikiran, perasaan dan aturan yang diterapkan atas mereka dengan sendirinya akan membentuk masyarakat.

Pemikiran, perasaan dan hasil penerapan aturan atas masyarakat tersebut akan menghasilkan akhlak atau norma sosial mereka. Konsekuensinya adalah adanya sikap yang sama terhadap suatu fakta. Kasus sosial baru akan disikapi dengan pro saja atau kontra saja; tidak pro dan kontra. Kalau pun ada perbedaan pendapat, tidak signifikan. Kontroversi yang muncul pada kasus Inul dan yang serupa, ditinjau dari akhlak, merupakan indikasi adanya perbedaan yang signifikan pada individu-individu negeri ini dalam ketiganya; mungkin pemikiran, perasaan, aturan, ataupun ketiganya sekaligus karena akhlak adalah produk dari ketiganya. Satu dari ketiganya yang harus dikoreksi apabila diinginkan suatu perbuatan diterima dari sisi akhlak. Koreksi terhadap pemikiran berdampak terkoreksinya standar norma sosial, koreksi perasaan berdampak senadanya emosi. Koreksi sistem hukum dan perangkatnya berdampak fisik karena sistem hukum dan perangkat pelaksananya memiliki kemampuan fisik untuk menghentikan suatu perbuatan berupa sanksi-sanksi.

Saat ini, sekalipun mayoritas penduduk Indonesia Muslim, ada perbedaan standar norma sosial penentuan wanita; Muslimah dan non-Muslimah yang melakukan pornografi sehingga munculnya pro dan kontra. Padahal kaum Muslimin memiliki norma sosial dalam hal pornografi selama kurun waktu 13 abad mereka di bawah naungan khilafah Islamiyah. Norma tersebut berlaku untuk Muslimah dan non-Muslimah yang keduanya merupakan kehormatan hidup yang dijaga oleh negara itu.

Norma tersebut antara lain adalah sebutan telanjang bagi wanita yang berada di lingkungan publik, seperti pasar dan jalan, tanpa memakai kerudung dan jilbab (sejenis mantel, abaya). Selain itu, wanita dilarang ber-tabaruj (bersolek) menampakkan kecantikan, termasuk menampakkan hijamah atau lekuk liku tubuhnya serta sebutan keji untuk perkataan dan perbuatan yang erotis. Norma tersebut menjadi bagian sistem sosial Negara Islam yang dikuatkan oleh sistem hukum dan perangkatnya.

Berbagai catatan yang ditulis oleh Muslim dan non-Muslim serta fakta-fakta di beberapa negeri Islam yang dulunya bagian dari Turki Ustmani menjadi bukti penerapan norma sosial dan perundangan tersebut. Turki Ustmani di kalangan kaum Muslimin yang meyakini Islam sebagai ideologi adalah Negara Islam sebagaimana Negara Islam yang didirikan Rasulullah. Budaya, seperti pakaian, arsitektur bangunan, dan seni tari serta norma sosial dan tata pergaulan sosial telah dibentuk oleh Islam.

Peninggalan sejarah menunjukkan tidak didapati visualisasi dua dan tiga dimensi bertema seks atau subjeknya manusia telanjang di lingkungan masjid ataupun di area publik, bahkan individu sekalipun. Sisa-sisa budaya dan norma sosial Islam masih ada di negeri-negeri Islam di Jazirah Arab dan sebagian Asia daratan yang mengenal pakaian tradisional berupa jilbab atau milhafah. Jilbab atau milhafah tersebut berupa selimut lebar yang dibalutkan ke tubuh perempuan dan kerudung yang menutupi kepala, leher, dan dada wanita, seperti pakaian sebagian wanita di Turki, Arab Saudi, Iran, Irak, Palestina yang nota bene merupakan bagian dari Kekhilafahan Islam Ustmani yang disebut juga Turki Ottoman oleh orientalis.

Bukti-bukti ini sekaligus menjadi argumen bagi kaum Muslimin yang meragukan atau menolak adanya negara Islam bahwa Islam ditegakkan oleh intitusi politis yaitu negara. Wilayah-wilayah tersebut sebelum berada di bawah pemerintah Islam memiliki berbagai budaya asli mereka, misalnya Timur Tengah dengan tari perutnya.

Tarian tersebut tidak lagi menjadi budaya setelah wilayah tersebut berada di bawah Kekhilafan Islam. Tarian hanya dilakukan kaum lelaki atau oleh budak wanita di hadapan tuannya dan tidak dijadikan profesi dan sumber penghidupan. Perubahan budaya masyarakat tersebut terjadi karena terpatrinya berbagai pemikiran Islam dalam diri mereka, terwarnainya perasaan disertai dengan kekuatan sistem hukum khilafah. Tanpa ketiganya, sukar membayangkan suatu masyarakat mampu meninggalkan budaya mereka sekalipun mereka berada di bawah tindasan penjajahan. Berbeda halnya dengan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara yang sekalipun telah menjadi bagian Turki Ustmani namun tidak mendapat sentuhan peradaban Islam seperti daerah-daerah di Timur Tengah.

Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara bergabung pada waktu lemahnya institusi Turki Ustmani sebagai negara saat itu .Karenanya peradaban daerah-daerah Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam dibentuk oleh Islam, namun hanya sebatas ''tepercik'' budaya. Akibatnya, hampir seluruh tarian daerah mayoritas Muslim di Indonesia ada goyang pinggulnya ataupun dengan pakaian yang disebut dalam budaya Islam telanjang. Kaum Muslimin di Indonesia hanya perlu waktu sebentar untuk beradaptasi dengan ''menu baru'' tarian goyang pinggul dan bisa dikatakan masih berada pada pakem budaya Indonesia, misalnya joget dangdut yang selalu diminati baik di lapangan bola ataupun hotel mewah. B

egitu pula dengan norma sosial kaum Muslimin di Indonesia sehingga wajar kasus-kasus serupa ini tidak mampu diatasi dengan alasan norma sosial atau akhlak semata. Alasan ini hanya akan memicu pro dan kontra karena beragamnya serta relatifnya standar norma sosial kaum Muslimin dan bangsa Indonesia saat ini, sekalipun batasan pornografi telah didefenisikan oleh jaksa aung dalam Surat Edaran Jaksa Agung 22 Februari 1952.

Norma sosial yang relatif itu tak mampu bertahan terhadap serbuan budaya asing yang sarat dengan norma sosial ala sekuler Barat dan arus globalisasi sehingga batasan pornografi dalam surat edaran itu pun menjadi relatif terhadap berbagai hal, seperti individu, keadaan, dan waktu. Standar norma yang absurd tersebut diperparah oleh perundang-undangan warisan kolonial. Pasal-pasal dalam KUHP tidak lagi mampu menjerat pelaku pornografi. Perangkat kekuasaan dan legislatif pun mandul. Bahkan sejumlah eksekutif satu daerah istimewa tanpa malu-malu menyodori rakyatnya atraksi ''goyang ngebor''.

Alternatif penyelesaianSelama ini penerapan prinsip-prinsip demokrasi yang Islami diyakini sebagian kaum Muslimin akan menyelesaikan berbagai persoalan termasuk persoalan pornografi. Namun, agresi Amerika Serikat dan sekutunya yang selama ini menjadi kampiun demokrasi membuktikan bahwa demokrasi ternyata adalah ideologi, prinsip pemerintahan, sistem hukum dan norma sosial yang berstandar ganda dan relatif. Jika pemaparan dampak standar norma sosial yang relatif di atas, tentunya dampak demokrasi yang relatif lebih parah lagi. Sudah tiba saatnya kaum Muslimin memikirkan dan mengkaji penyelesaian persoalan pornografi dari Islam dengan memikirkan dan mempelajari penerapan Islam selama 13 abad oleh institusi berideologi Islam, Khilafah Islamiyah sebagai penyelesaian alternatif.

Syeikh Taqiyyuddin An Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir pernah menjadi menjadi qadli (hakim) di masa-masa terakhir Kekhilafahan Islam Turki Ustmani, menyatakan pendapatnya tentang sistem perundang-undangan Negara Islam dari waktu ke waktu dalam sejumlah bukunya. Berdasarkan buku Nizomul Islam (Palestina, 1953) dan beberapa bukunya, semasa Khilafah Islamiyah eksis, tercantum dalam undang-undang dasarnya tata aturan tentang pakaian dan pergaulan sekaligus norma sosial yang bersumber dari surat An Nuur 31 dan Al Ahzab 59.

Tanpa penilikan yang mengonsumsi waktu dan tenaga, Muslimah berpakaian serupa Inul terkategori pelanggar aturan Allah SWT dan negara atau pelaku tindak kejahatan serta telah melakukan pornografi. Undang-undang dan undang-undang dasar negara ini menetapkan pelanggaran yang diistilahkan dengan al jarimah (kejahatan) dan mendapat sanksi dunia sebagaimana yang tercantum dalam Al Mulk: 6 yang disebut ta'zir yang dilaksanakan oleh pemimpin negara, yaitu sultan atau disebut juga amirul mukminin atau khalifah. Sanksi atau uqubat tersebut dalam pandang Islam berfungsi sebagai zawajir (penegak) dan jawabir (penebus) sesuai dengan Al Baqarah 179.

Taqiyuddin menyebutkan dalam kitab Nizomul 'Uqubat bahwa seorang wanita yang menarikan tarian keji dan erotis, misalnya mengumbar auratnya, atas kehendaknya sendiri dapat dijatuhi sanksi dipenjara sampai tiga tahu. Perlindungan yang pasti tersebut menjadikan hukum dan norma ini layak diterima warga negara non-Muslim karena faktanya non-Muslim ikut menjadi korban pornografi.Mengubah hipotesisKaum Muslimin yang cenderung pada Islam demokrasi serta meragukan eksisnya Islam dalam negara selama ini mengkaji demokrasi dengan motivasi yang didominasi mencari kebaikan demokrasi dan dugaan kuat demokrasi mampu memberi solusi. Sebaliknya, pengkajian Islam didominasi oleh kajian tentang lemahnya penerapannya dan dugaan lemahnya kemampuan Islam memberikan solusi.

Tentunya kedudukan tersebut perlu dibalik untuk mencari alternatif solusi dari Islam: ''Jangan-jangan Islam memang mampu memberikan solusi'' dan ''Jangan-jangan demokrasi ini memang keliru.'' Wallahu'alam bi shawab.

Oleh : Sri Helianty, Dosen Teknik Kimia FT Universitas Riau

Tidak ada komentar:

Bila Jodoh tak Kunjung Datang

Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Garis hidup setiap orang berbada. Sesuatu yang diharapkan kadang hanya tinggal kenangan. Sebaliknya yang tak diharapkan justru datang lebih awal. Jodoh, adalah hal yang cukup pelik bagi sebagian orang. Tapi jangan larut dalam kegalauan, teruslah mencari solusi. www.geloracinta.com bisa jadi solusi untuk Anda. Simak dengan segenap kejujuran.

www.geloracinta.com